Di
abad ke-21 seperti sekarang ini, tekhnologi semakin berkembang seiring dengan
kebutuhan akan informasi yang semakin meningkat. Internet sebagai bentuk perkembangan
tekhnologi, dengan mudah diakses kapan saja dan di mana saja. Perkembangan ini
mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia. Tak terkecuali di bidang
jurnalistik. Persaingan dalam bisnis media massa dewasa ini tak lepas dari
perkembangan tekhnologi tersebut. Media massa yang pada awal perkembangannya
hanya menggunakan tulisan tangan, kemudian berkembang menjadi media cetak dan
elektronik. Saat ini, dengan adanya internet sebagai new media, para pebisnis media massa turut memanfaatkan fasilitas internet
sebagai sarana publikasi hasil karya jurnalistiknya.
Banyak media konvensional baik cetak
maupun elektronik yang melakukan konvergensi dengan new media. Hal ini dilakukan karena berbagai motivasi, salah
satunya agar mampu mengikuti perkembangan zaman, sesuai dengan keinginan pasar
(konsumen). Seperti yang telah disinggung sebelumnya, hadirnya internet dengan
segala kemudahan untuk mengakses informasi, membuat masyarakat tak lagi hanya
tergantung pada media cetak dan elektronik seperti televisi, radio, majalah,
koran, dsb. Masyarakat memiliki alternatif baru untuk memilih berita yang ingin
didapatnya. Kenyataan ini yang membuat kebanyakan media cetak dan elektronik
seakan wajib melakukan konvergensi dengan new
media untuk memenuhi keinginan khalayak.
Konvergensi dengan new media ini juga dilakukan oleh Tempo. Majalah pertama yang tidak
memiliki afiliasi dengan pemerintah itu pertama kali terbit pada 27 Februari
1971 (sumber lain megatakan pertama kali terbit pada April 1971, ada juga yang
megatakan 6 Maret 1971). Dengan modal awal dari Yayasan Jaya Raya milik pengusaha Ciputra, digawangi oleh para seniman dan wartawan berpengalaman yang keluar dari tempat kerja sebelumnya, seperti Ekspress, Kompas, dan lainnya. Dalam perjalanannya, Tempo sering mendapat
teguran dari berbagai pihak karena kekeritisan yang dimuat dalam beritanya.
Bahkan beberapa kali ‘dimatikan’ oleh pemerintah orde baru saat itu. Namun
disini penulis tidak membahas tentang sejarah terbentukya Tempo serta bagaimana kronologi pembredelan-pembredelan itu secara
rinci, penulis lebih memfokuskan pada konvergensi dengan new media yang dilakukan Tempo.
Berbeda dengan kebanyakan media konvensional yang melakukan konvergensi dengan new media karena motif ekonomi, justru sejarah awal Tempo melakukan konvergensi dengan new media untuk mempertahankan idealisme . Berawal ketika 21 Juni 1994 Tempo kembali dibredel. Penyebab pelarangan terbit majalah Tempo ini tidak pernah jelas. Namun menurut kabar yang beredar, bahwa Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo karena berita tentang impor kapal perang dari Jerman. Berita itu dianggap membahayakan 'stabilitas negara'. Laporan utama membahas keberatan pihak militer terhadap impor oleh Menristek BJ Habibie.
Untuk mendapatkan SIUPP kembali, kali ini pemerintah memberikan syarat yang berat. Jika pembredelan-pembredelan sebelumnya memberi syarat terbit kembali dengan sangat mudah, hanya bertanda tangan di secarik kertas, kali ini keluarga Presiden Soeharto yang diwakili Hasyim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, dalam penjelasannya kepada Erick Samola (Salah satu orang kepercayaan Yayasan Jaya Raya yang turut mengelola Tempo) di sebuah pertemuan di hotel memberikan syarat: berita Tempo harus diketahui oleh mereka (Keluarga Presiden Soeharto), pemimpin redaksi harus ditentukan oleh mereka, dan mereka bisa membeli saham Tempo.
Berbeda dengan kebanyakan media konvensional yang melakukan konvergensi dengan new media karena motif ekonomi, justru sejarah awal Tempo melakukan konvergensi dengan new media untuk mempertahankan idealisme . Berawal ketika 21 Juni 1994 Tempo kembali dibredel. Penyebab pelarangan terbit majalah Tempo ini tidak pernah jelas. Namun menurut kabar yang beredar, bahwa Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo karena berita tentang impor kapal perang dari Jerman. Berita itu dianggap membahayakan 'stabilitas negara'. Laporan utama membahas keberatan pihak militer terhadap impor oleh Menristek BJ Habibie.
Untuk mendapatkan SIUPP kembali, kali ini pemerintah memberikan syarat yang berat. Jika pembredelan-pembredelan sebelumnya memberi syarat terbit kembali dengan sangat mudah, hanya bertanda tangan di secarik kertas, kali ini keluarga Presiden Soeharto yang diwakili Hasyim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, dalam penjelasannya kepada Erick Samola (Salah satu orang kepercayaan Yayasan Jaya Raya yang turut mengelola Tempo) di sebuah pertemuan di hotel memberikan syarat: berita Tempo harus diketahui oleh mereka (Keluarga Presiden Soeharto), pemimpin redaksi harus ditentukan oleh mereka, dan mereka bisa membeli saham Tempo.
Syarat tersebut oleh jajaran pemimpin Tempo ditolak. Mereka (jajaran pemimpin Tempo) lebih rela Tempo tidak pernah terbit lagi dari pada harus bersembunyi dibalik ketiak pemerintah. Untuk mengatasi pembredelan ini, Tempo memiliki alternatif lain. Pada 6 Maret 1996, Tempo meluncurkan Tempo Interaktif melalui www.tempo.co dengan hasil liputan perdana yang berjudul “Mengapa Timor?Mengapa Tommy?”, yang merupakan majalah digital pertama di Indonesia. Dengan beredar di dunia maya, dan aturan SIUPP tidak menjangkau internet, maka Tempo Interaktif lolos dari pemberedelan, namun tetap saja mendapat cap ilegal dari pemerintah. Pada saat itu memang belum banyak masyarakat yang mengakses internet. Akibatya, Tempo Interaktif tidak mampu menujukkan taringnya bagi Indonesia. Berbeda dengan ketika Tempo masih terbit sebagai majalah mingguan yang kian lama semakin diminati masyarakat karena idealisme dan independensinya.
Namun masyarakat yang melek internet tak tinggal diam. Tempo Interaktif masih memiliki pembaca fanatik. Ialah para aktivis mahasiswa yang giat mengunduh artikel di www.tempo.co lalu mencetaknya untuk disebarluaskan. Tempo Interaktif menjadi populer di kalangan mahasiswa saat itu. Namun tetap saja berbeda dengan majalah Tempo, versi online ini hanya bermodalkan semangat. Tak jarang amunisi juga kembang kempis. Karena Tempo Interaktif kekurangan wartawan, beberapa aktivis pers kampus pun diangkat menjadi reporter. Memang saat pemerintahan orde baru, ketika media konvensional kesulitan untuk mendapatkan SIUPP, pers kampus menjadi media alternatif yang independen untuk menjalankan fungsi kontrol sosial.
Angin segar menghampiri media massa Indonesia seiring dengan runtuhnya rezim Soeharto. Angin segar ini juga dirasakan Tempo. Presiden BJ Habibi mencabut pembredelan Tempo dan mengijinkannya untuk terbit kembali. Perkembangan Tempo begitu pesat. Pada 12 September 2000, Tempo menerbitkan Tempo Megazine, yakni majalah mingguan berbahasa Inggris. Lalu mendirikan koran Tempo pada 2 April 2001.
Seiring perkembangannya, konvergensi Tempo dengan new media dimaksudkan untuk sarana promosi. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya. Perkembangan tekhnologi dan kebutuhan informasi menuntut media konvensional melakukan konvergensi dengan new media untuk bisa bertahan. Saat ini Tempo juga melakukan demikian. Situs www.tempo.co saat ini mencakup berita yang ada di majalah Tempo, Tempo Megazine, dan koran Tempo. Namun tulisan yang dimuat dalam rubrik majalah di situs tersebut tidak lengkap. Untuk melanjutkan membaca, khalayak harus berlangganan terlebih dahulu, lalu login dengan Identitas yang telah didaftarkan sebelumnya, tentu saja tidak gratis untuk mendaftar. Hal ini sengaja dilakukan agar pembaca penasaran dan akhirnya membeli atau berlanggan majalah/koran Tempo.
Seperti berita yang dimuat dalam majalah Tempo edisi 12-18 November, laporan khusus membahas “Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir”. Ulasan yang disajikan dalam www.tempo.co tidak begitu lengkap. Yang disajikan hanya sebagian ulasan yang tentu saja membuat pembaca penasaran untuk melanjutkan membaca. Untuk membaca secara rinci, dalam web tersebut, pembaca disarankan membaca majalah Tempo edisi 12-18 November, laporan khusus membahas “Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir”. Ulasan di majalah Tempo tentang Soedirman disajikan secara rinci.
Selain sebagai sarana promosi, konvergensi Tempo dengan new media juga untuk memudahkan pembaca memperoleh berita. Hal ini bisa dilihat dengan adanya majalah Tempo dalam bentuk digital. Namun untuk bisa membacanya, khalayak harus berlangganan terlebih dahulu dengan biaya tertentu. Bahkan, Tempo meyediakan fitur khusus untuk pengguna iPad dan Android untuk memudahkan pembaca mengakses berita.
Tak dapat dipungkiri, hampir seluruh media konvensional saat ini telah melakukan konvergensi dengan new media untuk bisa bertahan. Sebuah pilihan yang sepertinya memang harus dilakukan ditengah gempuran arus perkembangan tekhnologi. Kebutuhan akan informasi yang kian tinggi, dengan banyaknya sumber-sumber informasi yang bisa didapat membuat khalayak bisa menentukan sendiri informasi apa yang ingin didapatnya. Dengan begitu, melakukan konvergensi berarti juga membuat sumber informasi semakin banyak, yang berarti memperbanyak pilihan khalayak dan kesempatan untuk membaca media tersebut.
Referensi:
1. Majalah
Tempo edisi 12-18 November, laporan khusus membahas “Soedirman Seorang
Panglima, Seorang Martir”
7. Berbagai
diskusi dengan rekan-rekan Pers Mahasiswa