Bola itu bundar, tamsil itu selalu melekat di benak pecinta sepakbola di dunia. Tapi khusus di Indonesia, bola tak selamanya bundar. Bola bisa berubah bentuk dan menimbulkan kontroversi.
Mulai dari isu keputusan 'aneh', penyuapan wasit, pengaturan skor hingga pengaturan juara. Yang terbaru adalah keputusan untuk mengulang laga antara Persik Kediri dengan Persebaya Surabaya.
Beberapa waktu yang lalu, PT Liga Indonesia (PTLI) telah mengumumkan, pihaknya bakal menuruti keputusan Komisi Bading (Komding) PSSI, yakni melakukan pertandingan ulang antara dua tim Jawa Timur (Jatim), yakni Persik dan Persebaya. Mengenai tempat, PTLI menyerahkan sepenuhnya ke pihak Macan Putih.
Keputusan inilah yang membuat saya heran. Apalagi musim 2009/2010 sudah usai dan mahkota juara sudah diberikan ke Arema Indonesia. Sebagai pecinta sepakbola, saya tidak tahu apa pertimbangan PTLI untuk mengeluarkan keputusan ini. Kalau hanya bercermin pada keputusan Komding yang menganulir hukuman kemenangan WO Persebaya atas Persik, maka bagi saya hal itu tidaklah cukup.
Ketka mengeluarkan surat keputusan hukuman WO, Komisi Disiplin (Komdis) PSSI sudah mencantumkan kejelasan bahwa 'hukuman itu tidak dapat dibanding'. Tapi namanya juga sepakbola Indonesia, ternyata pihak Persik masih nekat saja mengajukan banding. Saya mulai berpikir, mungkin celetukan 'aturan bukan untuk ditaati, melainkan untuk dilanggar' ada benarnya, di Indonesia tentunya.
Tambah 'unik' lagi ketika Komding menerima banding itu. Berdasarkan cerita salah seorang kawan yang menjadi kuasa hukum Persebaya, usut punya usut, ternyata dalam mengajukan banding, pasal yang menyatakan tidak boleh dibanding ternyata tidak dicantumkan. Tak heran bila akhirnya Komding 'welcome' dengan banding Persik.
Hingga akhirnya Komding pun memutuskan untuk menganulir hukuman WO untuk Persik. Tahu keputusannya dilanggar, Komdis akhirnya menambah hukuman untuk Macan Putih, yakni denda senilai Rp 50 juta. Kasus ini pun akhirnya menuju ke meja PTLI. PTLI dalam hal ini menjadi eksekutor, apakah melakukan tanding ulang, atau melangsungkan laga playoff antara Persebaya dengan Persiram Raja Ampat.
Dengan adanya 'peringatan' dari Komdis itu, diharapkan PTLI mampu berpikir lebih jernih, cermat dan lebih adil dalam mengambil keputusan. Tapi nyatanya, Jumat (16/7/2010) lalu mereka mengumumkan bahwa Persebaya harus meladeni tanding ulang lawan Persik. Mendengar hal ini, saya kecewa. Ada apa lagi di sepakbola kita.
Kalau ditarik ke belakang, dalam musim ini saja ada beberapa keputusan kontroversial yang dikeluarkan PSSI atau bidang-bidangnya. Kita masih ingat bagaimana klub asal Jatim, PS Mojokerto Putra (MP) mengadukan PSSI ke FIFA seputar masuknya Persikabo Kabupaten Bogor sebagai kontestan terakhir babak 8 besar Divisi Utama. Meski akhirnya MP lah yang lolos.
Persikabo dan MP memang menjadi 2 kontestan yang memperebutkan satu tiket terakhir menuju babak 8 besar. Sebenarnya, MP yang mengumpulkan nilai akhir 33 poin lebih layak masuk dibanding Persikabo yang mengumpulkan 32 poin. Tapi secara mengejutkan PSSI akhirnya memutuskan Persikabo sebagai peserta terakhir babak 8 besar.
Yang membuat MP geram adalah campur tangan Sekjen PSSI, Nugraha Besoes yang membebaskan hukuman pengurangan poin atas Persikabo. Padahal, mereka sebelumnya didenda uang serta dihukum pengurangan 3 poin karena terlambat membayar gaji pemain. Tapi ketika manajemen Persikabo sudah melunasi tanggungannya, PSSI lantas memutihkan hukuman pengurangan poin.
Belum berhenti sampau di situ, kita juga ingat bagaimana Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid bertindak bak dewa yang berkuasa di jagat sepakbola Merah Putih. Pria yang dua kali mendekam di hotel prodeo ini dengan segala powernya memberikan pengampunan ke striker Persib Bandung, Cristian Gonzales. Padahal mantan pemain Persik ini jelas-jelas memukul pemain belakang PSMS Medan, Erwinsyah. Atas aksi itu El Loco - julukan Gonzales - dihukum satu tahun dilarang bermain oleh Komdis.
Selain itu, pengampunan serupa juga dilakukan Komding terhadap striker Persipura Jayapura, Alberto 'Beto' Goncalves. Dari yang semula diskorsing 3 tahun dan denda Rp 150 juta, Komding memutuskan pemain Brasil ini hanya dilarang tampil dalam satu pertandingan kompetisi resmi musim depan. Apakah itu di level Superliga atau Piala Indonesia, hal itu diserahkan kepada PTLI. Denda yang harus dibayarkan Beto tetap Rp 150 juta.
Jika Beto dan Gonzales mendapat pengampunan, lalu mengapa Nurdin menolak mengampuni mantan striker Arema Indonesia, Emile Mbamba dan mantan pemain Persipura, Ernest Jeremiah. Padahal kasus kedua pemain ini hampir sama dengan Beto dan Gonzales.
Mbamba diskorsing 5 tahun sejak 2008 dan denda Rp 50 juta setelah berkali-kali melakukan tindakan tidak terpuji baik kepada wasit maupun lawan. Nasib sama juga dialami Jeremiah. Pemain Nigeria itu terbukti menanduk wasit Purwanto pada final Copa Indonesia musim lalu. Akibatnya, PSSI menjatuhkan hukuman skorsing 3 tahun dan denda Rp 100 juta, terhitung sejak tahun 2009.
Awal musim lalu, kedua pemain ini mengajukan Peninjauan Kembali atas hukuman mereka. Namun PSSI akhirnya menolak hukuman itu. Mereka beralasan bahwa kehadiran pemain asing harus memberikan contoh bagi pemain lokal. Selain itu kalau pemain yang bersangkutan berperilaku buruk, maka PSSI akan sulit mengeluarkan izin bagi mereka.
Sembari menghela nafas, sejenak saya berpikir, sepertinya kejadian-kejadian kontroversial sudah lumrah terjadi di Tanah Air. Kalau keputusan yang valid saja masih bisa dibelokkan, bagaimana bisa kita menjadi negara maju dan menatap industri sepakbola. Kapan keunikan ini akan berakhir?[air/sya]
Mulai dari isu keputusan 'aneh', penyuapan wasit, pengaturan skor hingga pengaturan juara. Yang terbaru adalah keputusan untuk mengulang laga antara Persik Kediri dengan Persebaya Surabaya.
Beberapa waktu yang lalu, PT Liga Indonesia (PTLI) telah mengumumkan, pihaknya bakal menuruti keputusan Komisi Bading (Komding) PSSI, yakni melakukan pertandingan ulang antara dua tim Jawa Timur (Jatim), yakni Persik dan Persebaya. Mengenai tempat, PTLI menyerahkan sepenuhnya ke pihak Macan Putih.
Keputusan inilah yang membuat saya heran. Apalagi musim 2009/2010 sudah usai dan mahkota juara sudah diberikan ke Arema Indonesia. Sebagai pecinta sepakbola, saya tidak tahu apa pertimbangan PTLI untuk mengeluarkan keputusan ini. Kalau hanya bercermin pada keputusan Komding yang menganulir hukuman kemenangan WO Persebaya atas Persik, maka bagi saya hal itu tidaklah cukup.
Ketka mengeluarkan surat keputusan hukuman WO, Komisi Disiplin (Komdis) PSSI sudah mencantumkan kejelasan bahwa 'hukuman itu tidak dapat dibanding'. Tapi namanya juga sepakbola Indonesia, ternyata pihak Persik masih nekat saja mengajukan banding. Saya mulai berpikir, mungkin celetukan 'aturan bukan untuk ditaati, melainkan untuk dilanggar' ada benarnya, di Indonesia tentunya.
Tambah 'unik' lagi ketika Komding menerima banding itu. Berdasarkan cerita salah seorang kawan yang menjadi kuasa hukum Persebaya, usut punya usut, ternyata dalam mengajukan banding, pasal yang menyatakan tidak boleh dibanding ternyata tidak dicantumkan. Tak heran bila akhirnya Komding 'welcome' dengan banding Persik.
Hingga akhirnya Komding pun memutuskan untuk menganulir hukuman WO untuk Persik. Tahu keputusannya dilanggar, Komdis akhirnya menambah hukuman untuk Macan Putih, yakni denda senilai Rp 50 juta. Kasus ini pun akhirnya menuju ke meja PTLI. PTLI dalam hal ini menjadi eksekutor, apakah melakukan tanding ulang, atau melangsungkan laga playoff antara Persebaya dengan Persiram Raja Ampat.
Dengan adanya 'peringatan' dari Komdis itu, diharapkan PTLI mampu berpikir lebih jernih, cermat dan lebih adil dalam mengambil keputusan. Tapi nyatanya, Jumat (16/7/2010) lalu mereka mengumumkan bahwa Persebaya harus meladeni tanding ulang lawan Persik. Mendengar hal ini, saya kecewa. Ada apa lagi di sepakbola kita.
Kalau ditarik ke belakang, dalam musim ini saja ada beberapa keputusan kontroversial yang dikeluarkan PSSI atau bidang-bidangnya. Kita masih ingat bagaimana klub asal Jatim, PS Mojokerto Putra (MP) mengadukan PSSI ke FIFA seputar masuknya Persikabo Kabupaten Bogor sebagai kontestan terakhir babak 8 besar Divisi Utama. Meski akhirnya MP lah yang lolos.
Persikabo dan MP memang menjadi 2 kontestan yang memperebutkan satu tiket terakhir menuju babak 8 besar. Sebenarnya, MP yang mengumpulkan nilai akhir 33 poin lebih layak masuk dibanding Persikabo yang mengumpulkan 32 poin. Tapi secara mengejutkan PSSI akhirnya memutuskan Persikabo sebagai peserta terakhir babak 8 besar.
Yang membuat MP geram adalah campur tangan Sekjen PSSI, Nugraha Besoes yang membebaskan hukuman pengurangan poin atas Persikabo. Padahal, mereka sebelumnya didenda uang serta dihukum pengurangan 3 poin karena terlambat membayar gaji pemain. Tapi ketika manajemen Persikabo sudah melunasi tanggungannya, PSSI lantas memutihkan hukuman pengurangan poin.
Belum berhenti sampau di situ, kita juga ingat bagaimana Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid bertindak bak dewa yang berkuasa di jagat sepakbola Merah Putih. Pria yang dua kali mendekam di hotel prodeo ini dengan segala powernya memberikan pengampunan ke striker Persib Bandung, Cristian Gonzales. Padahal mantan pemain Persik ini jelas-jelas memukul pemain belakang PSMS Medan, Erwinsyah. Atas aksi itu El Loco - julukan Gonzales - dihukum satu tahun dilarang bermain oleh Komdis.
Selain itu, pengampunan serupa juga dilakukan Komding terhadap striker Persipura Jayapura, Alberto 'Beto' Goncalves. Dari yang semula diskorsing 3 tahun dan denda Rp 150 juta, Komding memutuskan pemain Brasil ini hanya dilarang tampil dalam satu pertandingan kompetisi resmi musim depan. Apakah itu di level Superliga atau Piala Indonesia, hal itu diserahkan kepada PTLI. Denda yang harus dibayarkan Beto tetap Rp 150 juta.
Jika Beto dan Gonzales mendapat pengampunan, lalu mengapa Nurdin menolak mengampuni mantan striker Arema Indonesia, Emile Mbamba dan mantan pemain Persipura, Ernest Jeremiah. Padahal kasus kedua pemain ini hampir sama dengan Beto dan Gonzales.
Mbamba diskorsing 5 tahun sejak 2008 dan denda Rp 50 juta setelah berkali-kali melakukan tindakan tidak terpuji baik kepada wasit maupun lawan. Nasib sama juga dialami Jeremiah. Pemain Nigeria itu terbukti menanduk wasit Purwanto pada final Copa Indonesia musim lalu. Akibatnya, PSSI menjatuhkan hukuman skorsing 3 tahun dan denda Rp 100 juta, terhitung sejak tahun 2009.
Awal musim lalu, kedua pemain ini mengajukan Peninjauan Kembali atas hukuman mereka. Namun PSSI akhirnya menolak hukuman itu. Mereka beralasan bahwa kehadiran pemain asing harus memberikan contoh bagi pemain lokal. Selain itu kalau pemain yang bersangkutan berperilaku buruk, maka PSSI akan sulit mengeluarkan izin bagi mereka.
Sembari menghela nafas, sejenak saya berpikir, sepertinya kejadian-kejadian kontroversial sudah lumrah terjadi di Tanah Air. Kalau keputusan yang valid saja masih bisa dibelokkan, bagaimana bisa kita menjadi negara maju dan menatap industri sepakbola. Kapan keunikan ini akan berakhir?[air/sya]
sumber: beritajatim.com
Dunia sepakbola Indonesia pada saat ini terus menuju ke pendewasaan. Proses yang harus dilalui sebelum menjadi negara yang disegani oleh pihak lain. Kerja keras, pembibitan pemain sejak dini, pembinaan yang konsisten, penyediaan dana yang cukup, dukungan sponsor, kepedulian pengambil keputusan akan menjadi kunci kemajuan sepakbola di Indonesia. Kapan Indonesia dapat maju ke Piala Dunia ?
BalasHapusBiarlah, walaupun keputusan pssi begitu. semoga ini ada maksudnya untuk membuat liga indonesia lebih bagus lagi. amien
BalasHapus