Minggu, 06 Januari 2013

Konvergensi Tempo dengan New Media, Alternatif di Tengah Pembredelan


Di abad ke-21 seperti sekarang ini, tekhnologi semakin berkembang seiring dengan kebutuhan akan informasi yang semakin meningkat. Internet sebagai bentuk perkembangan tekhnologi, dengan mudah diakses kapan saja dan di mana saja. Perkembangan ini mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia. Tak terkecuali di bidang jurnalistik. Persaingan dalam bisnis media massa dewasa ini tak lepas dari perkembangan tekhnologi tersebut. Media massa yang pada awal perkembangannya hanya menggunakan tulisan tangan, kemudian berkembang menjadi media cetak dan elektronik. Saat ini, dengan adanya internet sebagai new media, para pebisnis media massa turut memanfaatkan fasilitas internet sebagai sarana publikasi hasil karya jurnalistiknya.

Banyak media konvensional baik cetak maupun elektronik yang melakukan konvergensi dengan new media. Hal ini dilakukan karena berbagai motivasi, salah satunya agar mampu mengikuti perkembangan zaman, sesuai dengan keinginan pasar (konsumen). Seperti yang telah disinggung sebelumnya, hadirnya internet dengan segala kemudahan untuk mengakses informasi, membuat masyarakat tak lagi hanya tergantung pada media cetak dan elektronik seperti televisi, radio, majalah, koran, dsb. Masyarakat memiliki alternatif baru untuk memilih berita yang ingin didapatnya. Kenyataan ini yang membuat kebanyakan media cetak dan elektronik seakan wajib melakukan konvergensi dengan new media untuk memenuhi keinginan khalayak.

Konvergensi dengan new media ini juga dilakukan oleh Tempo. Majalah pertama yang tidak memiliki afiliasi dengan pemerintah itu pertama kali terbit pada 27 Februari 1971 (sumber lain megatakan pertama kali terbit pada April 1971, ada juga yang megatakan 6 Maret 1971). Dengan modal awal dari Yayasan Jaya Raya milik pengusaha Ciputra, digawangi oleh para seniman dan wartawan berpengalaman yang keluar dari tempat kerja sebelumnya, seperti Ekspress, Kompas, dan lainnya. Dalam perjalanannya, Tempo sering mendapat teguran dari berbagai pihak karena kekeritisan yang dimuat dalam beritanya. Bahkan beberapa kali ‘dimatikan’ oleh pemerintah orde baru saat itu. Namun disini penulis tidak membahas tentang sejarah terbentukya Tempo serta bagaimana kronologi pembredelan-pembredelan itu secara rinci, penulis lebih memfokuskan pada konvergensi dengan new media yang dilakukan Tempo.

Berbeda dengan kebanyakan media konvensional yang melakukan konvergensi dengan new media karena motif ekonomi, justru sejarah awal Tempo melakukan konvergensi dengan new media untuk mempertahankan idealisme . Berawal ketika 21 Juni 1994 Tempo kembali dibredel. Penyebab pelarangan terbit majalah Tempo ini tidak pernah jelas. Namun menurut kabar yang beredar, bahwa Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo karena berita tentang impor kapal perang dari Jerman. Berita itu dianggap membahayakan 'stabilitas negara'. Laporan utama membahas keberatan pihak militer terhadap impor oleh Menristek BJ Habibie.

Untuk mendapatkan SIUPP kembali, kali ini pemerintah memberikan syarat yang berat. Jika pembredelan-pembredelan sebelumnya memberi syarat terbit kembali dengan sangat mudah, hanya bertanda tangan di secarik kertas, kali ini keluarga Presiden Soeharto yang diwakili Hasyim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, dalam penjelasannya kepada Erick Samola (Salah satu orang kepercayaan  Yayasan Jaya Raya yang turut mengelola Tempo) di sebuah pertemuan di hotel memberikan syarat: berita Tempo harus diketahui oleh mereka (Keluarga Presiden Soeharto), pemimpin redaksi harus ditentukan oleh mereka, dan mereka bisa membeli saham Tempo.

Syarat tersebut oleh jajaran pemimpin Tempo ditolak. Mereka (jajaran pemimpin Tempo) lebih rela Tempo tidak pernah terbit lagi dari pada harus bersembunyi dibalik ketiak pemerintah. Untuk mengatasi pembredelan ini, Tempo memiliki alternatif lain. Pada 6 Maret 1996, Tempo meluncurkan Tempo Interaktif melalui www.tempo.co dengan hasil liputan perdana yang berjudul “Mengapa Timor?Mengapa Tommy?”, yang merupakan majalah digital pertama di Indonesia. Dengan  beredar di dunia maya, dan aturan SIUPP tidak menjangkau internet, maka Tempo Interaktif lolos dari pemberedelan, namun tetap saja mendapat cap ilegal dari pemerintah. Pada saat itu memang belum banyak masyarakat yang mengakses internet. Akibatya, Tempo Interaktif tidak mampu menujukkan taringnya bagi Indonesia. Berbeda dengan ketika Tempo masih terbit sebagai majalah mingguan yang kian lama semakin diminati masyarakat karena idealisme dan independensinya.

Namun masyarakat yang melek internet tak tinggal diam. Tempo Interaktif masih memiliki pembaca fanatik. Ialah para aktivis mahasiswa yang giat mengunduh artikel di www.tempo.co lalu mencetaknya untuk disebarluaskan. Tempo Interaktif menjadi populer di kalangan mahasiswa saat itu. Namun tetap saja berbeda dengan majalah Tempo, versi online ini hanya bermodalkan semangat. Tak jarang amunisi juga kembang kempis. Karena Tempo Interaktif kekurangan wartawan, beberapa aktivis pers kampus pun diangkat menjadi reporter. Memang saat pemerintahan orde baru, ketika media konvensional kesulitan untuk mendapatkan SIUPP, pers kampus menjadi media alternatif yang independen untuk menjalankan fungsi kontrol sosial.

Angin segar menghampiri media massa Indonesia seiring dengan runtuhnya rezim Soeharto. Angin segar ini juga dirasakan Tempo. Presiden BJ Habibi mencabut pembredelan Tempo dan mengijinkannya untuk terbit kembali. Perkembangan Tempo begitu pesat. Pada 12 September 2000, Tempo menerbitkan Tempo Megazine, yakni majalah mingguan berbahasa Inggris. Lalu mendirikan koran Tempo pada 2 April 2001.

Seiring perkembangannya, konvergensi Tempo dengan new media dimaksudkan untuk sarana promosi. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya. Perkembangan tekhnologi dan kebutuhan informasi menuntut media konvensional melakukan konvergensi dengan new media untuk bisa bertahan. Saat ini Tempo juga melakukan demikian. Situs www.tempo.co saat ini mencakup berita yang ada di majalah Tempo, Tempo Megazine, dan koran Tempo. Namun tulisan yang dimuat dalam rubrik majalah di situs tersebut tidak lengkap. Untuk melanjutkan membaca, khalayak harus berlangganan terlebih dahulu, lalu login dengan Identitas yang telah didaftarkan sebelumnya, tentu saja tidak gratis untuk mendaftar. Hal ini sengaja dilakukan agar pembaca penasaran dan akhirnya membeli atau berlanggan majalah/koran Tempo.

Seperti berita yang dimuat dalam majalah Tempo edisi 12-18 November, laporan khusus membahas “Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir”. Ulasan yang disajikan dalam www.tempo.co tidak begitu lengkap. Yang disajikan hanya sebagian ulasan yang tentu saja membuat pembaca penasaran untuk melanjutkan membaca. Untuk membaca secara rinci, dalam web tersebut, pembaca disarankan membaca majalah Tempo edisi 12-18 November, laporan khusus membahas “Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir”. Ulasan di majalah Tempo tentang Soedirman disajikan secara rinci.

Selain sebagai sarana promosi, konvergensi Tempo dengan new media juga untuk memudahkan pembaca memperoleh berita. Hal ini bisa dilihat dengan adanya majalah Tempo dalam bentuk digital. Namun untuk bisa membacanya, khalayak harus berlangganan terlebih dahulu dengan biaya tertentu. Bahkan, Tempo meyediakan fitur khusus untuk pengguna iPad dan Android untuk memudahkan pembaca mengakses berita.

Tak dapat dipungkiri, hampir seluruh media konvensional saat ini telah melakukan konvergensi dengan new media untuk bisa bertahan. Sebuah pilihan yang sepertinya memang harus dilakukan ditengah gempuran arus perkembangan tekhnologi. Kebutuhan akan informasi yang kian tinggi, dengan banyaknya sumber-sumber informasi yang bisa didapat membuat khalayak bisa menentukan sendiri informasi apa yang ingin didapatnya. Dengan begitu, melakukan konvergensi berarti juga membuat sumber informasi semakin banyak, yang berarti memperbanyak pilihan khalayak dan kesempatan untuk membaca media tersebut.


Referensi:
1.      Majalah Tempo edisi 12-18 November, laporan khusus membahas “Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir”
4.      http://www.tempo.co
7.      Berbagai diskusi dengan rekan-rekan Pers Mahasiswa

Cuma Blog Biasa is Back

Huaaaaaaaaaa, pengen teriak sekencang-kencangnya untuk mengawali tulisan ini,hehe.
Hampir dua tahun blog ini vakum. Dengan berbagai kesibukan dan kemalasan saya, akhirnya saya tak mampu membuat tulisan apapun untuk blog ini selama hampir dua tahun. Banyak alasan dan argumentasi yang membuat saya sibuk dan malas untuk ngeblog selama ini. Diantara alasan dan argumentasi tersebut, ada yang masih saya ingat dan mungkin ada yang terlupa.

Kesibukan tersebut dimulai ketika saat itu saya menyiapkan diri untuk menghadapi Ujian Nasional SMA. Karena terlalu serius belajar, akhirnya blog ini terbengkalai. Setelah ujian Nasional saya juga masih harus menyiapkan diri untuk mengikuti Ujian SNMPTN. Alhasil saya lulus kedua Ujian itu dan diterima di Universitas Brawijaya Malang sesuai dengan jurusan yang saya inginkan: Ilmu Komunikasi.

Setelah diterima di UB, saya masih memiliki beribu tanggung jawab yang menyebabkan saya sibuk dan tak sempat membuka blog ini, selain karena kemalasan itu tadi. Saya harus menyiapkan peralatan dan segala atribut untuk ospek. Ospek di UB ini dijalankan selama satu semester. Oleh karenanya saya jarang sekali pulang ke Surabaya saat jadi maba dulu. Selain karena Ospek, saya juga dilanda banyak tugas kuliah dan beban penyesuaian diri di tempat yang baru. 

Waktu terus berjalan, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun, hingga 'label' mahasiswa baru berubah menjadi mahasiswa semester 3, saya masih saja malas membuka blog ini. Sampai pada akhirnya tiba hari ini, hari dimana saya mendapat 'mukjizat' untuk kembali menulis di blog ini. 

Dalam waktu yang hampir dua tahun ini, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman blogger yang sudah mengunjungi blog ini. Seribu maaf juga saya ucapkan karena belum sempat kunjungan balik. Semoga dengan adanya tulisan perdana sejak dua tahun lalu ini, saya menjadi tidak malas untuk ngeblog lagi sehingga blog ini bisa konsisten menyajikan tulisan-tulisan dan saling berbagi pengetahuan.

Salam

Senin, 21 Februari 2011

Pertahankan Tren Positif ini Kawan

Capeknya habis mbolang dari Bali, tapi langsung semangat untuk bikin sebuah tulisan. Kali ini saya akan menceritakan kisah perjalanan saya dan teman-teman Bonek lainnya ke Bali. Sebenarnya saya tidak mempunyai niat berangkat ke Bali untuk mendukung Persebaya karena sebentar lagi saya akan menghadapi Ujian Nasional. Namun teman-teman saya terus merayu saya untuk berangkat, akhirnya saya pun tergoda.


Inilah kisah selengkapnya:


Dalam lawatan ke Pulau Dewata tersebut, selain menggunakan Kereta Api dan 'menggandol' Truk seperti biasanya, Bonek juga menggunakan 47 bus, puluhan mobil pribadi, dan ratusan sepeda motor. Bonek yang dari Surabaya berkumpul di Taman Apsari dan berangkat bersama pada hari Sabtu. Dengan pengawalan dari pihak kepolisian, perjalanan Bonek berlangsung aman dan lancar.


Bonek yang berangkat menggunakan Kereta Api berangkat secara bergelombang di hari Kamis dan Jumat. Selama perjalanan tidak terjadi kerusuhan sebagaimana yang dikhawatirkan. Bahkan Bonek mendapat sambutan dari kelompok suporter setempat dari Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, dan Banyuwangi. Bonek yang berangkat secara liar ini di sweeping di pelabuhan Ketapang dan Gilimanuk. Yang tidak membawa KTP dan uang minimal Rp 100.000 dipulangkan paksa oleh petugas. Sedikitnya sekitar 300 Bonek dipulangkan. Namun mereka pantang menyerah. Ada yang menyamar sebagai penumpang umum, ada pula yang pulang ke Surabaya dan berangkat lagi menaiki Bus di hari berikutnya. Bahkan saya bertemu dengan seorang Bonek yang berangkat secara liar di kapal yang saya tumpangi, "aku wes teko Bali mas, tapi dimulihno maneh, sampek wis ping 3 bolak-balik numpak kapal"( saya sudah sampai Bali mas, tapi dipulangkan lagi, sampai sudah 3 kali bolak-balik naik kapal) ungkapnya kepada saya sambil saya memberinya makan dan rokok.


Di Bali tidak terjadi gesekan antara Bonek dengan warga atau suporter setempat meski di dalam stadion pertandingan berjalan panas. Kesabaran Bonek kembali diuji. Ada oknum penonton, yang diidentifikasi tidak mengenakan atribut suporter tuan rumah (saya lebih suka menyebutnya oknumania), melemparkan benda keras ke arah bangku cadangan dan pemain Persebaya. Namun, Bonek dan suporter Bali menjawab provokasi itu dengan nyanyian bersama " Bali-Bonek kita saudara...Disini Bonek disana Bali dimana-mana kita saudara...", sungguh indah, ditambah lagi dengan Mexican Wave (ombak suporter memutari stadion). Di ujung laga, Persebaya kalah 1-2, namun dua kelompok suporter saling bertukar atribut. Bahkan suporter Bali langsung menggunakan atribut Bonek saat perjalanan pulang.


Keramahan Bonek ini mendapat apresiasi dari pedagang oleh-oleh, warga dan kepolisian. Banyak yang mengatakan Bonek ternyata tidak seperti yang diberitakan di media. semuanya tertib. Sama sekali tidak terlihat gelagak ingin mencuri, membuat onar, atau menjarah.


Semoga tren positif ini bisa dipertahankan..
Semoga tidak ada lagi kerusuhan yang melibatkan Bonek, karena sekecil apapun  kerusuhan itu media pasti akan membesar-besarkannya, mungkin  karena Bonek artis yang punya nilai jual tinggi,hehe..
Jangan terprovokasi oleh 'oknumania' yang ingin merusak citra Bonek..
Teruslah berbenah kawan..
Tak perlu jadi yang terbaik, menjadi yang lebih baik itu sudah cukup..
Salam 1 nyali!!
Wani!!
Bernyali tanpa anarki..

Minggu, 13 Februari 2011

Pesan dari Sang Jurnalis

Selamat malam teman-teman blogger. Kali ini saya menemukan sebuah pesan dari seorang Jurnalis untuk Bonek sehubungan keberangkatan Bonek ke Bali untuk menyaksikan pertandingan antara Bali Dewata vs Persebaya 1927 tanggal 20 Februari mendatang. Langsung aja deh saya posting. Berikut surat dari Sang Jurnalis:





Farikhy Achmad 10 Februari jam 2:30 Laporkan
Salam hormat



Sebentar lagi, Bonek akan melakukan tret tet tet ke Bali. Ada dua jalur, dengan bus yang berarti lewat pantura (Pasuruan-Probolinggo-Situbondo-Banyuwangi) dan kereta api yang berarti lewat selatan (Probolinggo-Lumajang-Jember-Banyuwangi)



Sebagai warga Jember dan pecinta sepakbola, saya berharap acara tert -tet tet tetap aman. Saya sebagai pribadi meminta kepada teman-teman Bonek di Surabaya untuk berkoordinasi sebaik mungkin dan saling menjaga.



Sepanjang perjalanan di dua jalur itu, tidak tertutup kemungkinan akan ada provokasi-provokasi terhadap Bonek yang akan membenturkan dengan warga sekitar. Saya meminta agar apapun yang terjadi: JANGAN MEMBALAS... sekali lagi... JANGAN MEMBALAS...



Kenapa permusuhan dengan warga terjadi, karena setelah dilempari, Bonek melakukan aksi balasan. Dan aksi balasan, jelas mengenai warga yang sebenarnya tidak tahu apa-apa, dan ini menimbulkan rentetan balas dendam tak berkesudahan.



Selama ini Jatim wilayah timur jarang sekali menjadi jalur away Bonek. Terakhir, Persebaya di Divisi I tahun 2005 lalu dan berhadapan dengan Persid, Bonek datang ke Notohadinengoro dan semua aman. Tidak ada benturan.



Warga tentu tak ingin ada benturan dengan Bonek. Bonek pun tak perlu berbenturan dengan warga. Patut diketahui, semua daerah yang dilewati Bonek ke Bali (utara dan selatan) masuk dalam daerah basis Bonek. Saya tahu betul, bagaimana komunitas Bonek di sana adalah juga warga asli daerah sekitar.



Bahkan, Bonek dan kelompok suporter setempat bekerjasama dengan baik. Tentu masih ingat kasus Ryan, arek Jember yang Mbonek dan diduga menjadi korban penganiayaan oknum polsuska. Persidmania ikut membantu berjuang bersama-sama menuntut keadilan untuk Ryan.



Jadi, sekali lagi, apapun yang terjadi, JANGAN MEMBALAS. Sudah cukuplah benturan antar warga karena masalah sepakbola.



Di sini, ada temen (tokoh Persidmania). Dengan segala hormat, sebagai sesama kawan, saya meminta bantuan beliau untuk mengoordinasikan kawan-kawan Persidmania agar sama-sama mengamankan tret-tet-tet ke Bali. Insya Allah semua baik-baik saja seperti dulu Bonek pernah ke Jember.



Di sini juga ada pentolan suporter lumajang. Saya juga meminta bantuan kepada beliau agar mungkin menghubungi tokoh suporter PSIL Lumajang dan Bonek Lumajang untuk ikut mengamankan tert-tet itu.



Di sini juga ada wakapolres situbondo, Saya pribadi berharap, waka bisa mengamankan dengan sebaik-baiknya. Saya mohon, jika ada pelaku kerusuhan siapapun itu segera ditangkap saja orangnya. Kita tidak ingin gara-gara ulah satu orang, seluruh komunitas terkena dampaknya. Menonton sepakbola bukanlah kriminal. Tapi melakukan kerusuhan, itu baru kriminal. Saya yakin perusuh adalah perusuh, dan hanya menggunakan sepakbola sebagai dalih.



Semoga semua damai. Demi kita semua. Sudah cukup Indonesia disumpeki dengan kerusuhan agama, jangan disumpeki lagi kerusuhan suporter. Saya jurnalis, saya akan liput apapun, walau itu kerusuhan suporter, walau itu yang melakukan adalah pendukung Persebaya. Tapi dalam hati kecil saya, saya tak ingin ada kerusuhan. Sepakbola lebih indah tanpa kekerasan dan kerusuhan. Cukuplah kasus Lamongan menjadi pelajaran bagi kita..

wassalam





itulah tadi pesan dari sang jurnalis..

semoga bermanfaat bagi kita semua..

salam satu nyali!!!
wani..
bernyali tanpa anarki..

Selasa, 14 September 2010

Aku bangga menjadi bonek, bonek pemersatu suporter jawa timur

Aku bangga menjadi bonek.




Memang bonek bukanlah suporter terbaik, suporter yang dikenal dengan cinta damai dan kreatifitasnya maupun apalah. Tapi bonek adalah suporter yang mencoba ingin jadi lebih baik yang dari tahun ke tahun. Bonek adalah bonek, bukan suporter yang mengaku oknum. Bukan suporter  yang kalau anarkis selalu mengatasnamakan oknum suporter, bukannya meminta maaf dan mengakui kesalahannya.


Bonek anarkis, bonek bikin ulah, bonek menjarah pedagang. Itulah headline yang slalu menghiasi media massa saat bonek tur ke luar kota. Media massa bagaikan ketiban rejeki kalau bonek lagi tur ke luar kota. Bagaikan tanpa dikomando mereka berlomba-lomba memberitakan perjalanan bonek, meskipun gak sesuai dengan fakta yang terjadi yang penting dengan mengarang indah dan laku di pasaran. Masih terlintas jelas 24 Januari 2010 Bonek tur bandung diserang di solo. Jelas-jelas pada media massa menayangkan bonek yang kala itu nggandol kereta diserang warga, bukan bonek yang menyerang, tapi dalam headline nya Bonek Anarkis. Anarkis darimana? Meskipun dalam pemberitaan gak sesuai dengan fakta, yang penting laku keraslah beritanya.



Coba kita bandingkan berpuluh-puluh ribu aremania tur jakarta pada saat akhir kompetisi ISL 2010 Persija vs Arema. Adakah pemberitaan aremania yang mencolok? Seakan-akan ditutupi. Atau mungkin juga media massa takut beritanya gak laku keras? Padahal dalam kejadiaan itu aremania sempat ricuh dalam perjalan pulang pergi ke jakarta.

Kita putar memori kembali saat pelita karawang vs persebaya. Bonek yang datang ke stadion singaperbangsa karawang diserang oleh oknum suporter tuan rumah, dan besok paginya muncul diberitakan di redaksi berita olahraga ternama tentang bonek menyerang suporter tuan rumahDengan kecanggihan teknologi saya mengajak teman-teman bonek yang ada di grup facebook saya, untuk menyebarkan ke grup yang laen untuk mengirim email protes ke redaksi tersebut. Alhamdulillah 2-3 hari setelah email tersebut dikirim, pihak redaksi meminta maaf kepada pengurus bonek.

Dan di sini saya mengajak kepada teman-teman bonek se jagat raya, seandainya nanti ada pemberitaan miring tentang bonek, mari kita berlomba-lomba kirim email protes kepada mereka agar nama bonek tidak semakin tercoreng gara-gara pemberitaan miring. Kita manfaatkan fasilitas yang ada saat ini, teknologi udah maju kawan.

Kembali ke uneg-uneg yang ngeganjel di dada saya. Sebelumnya saya pernah kuliah di malang, dan sedikit banyak saya mengerti perbedaan bonek dan seterunya aremania. Pada umumnya Bonek dan Aremania sama, sama-sama suporter fanatik, suporter terbesar. Di Bonek ada suporter cinta damai, di aremania juga ada suporter cinta damai, di bonek ada suporter garis keras bonek '89, di aremania ada suporter sirag sarek '87, di bonek ada yang resek, di aremania juga ada yang resek. Intinya gak semuanya bonek itu resek, tapi juga masih cinta damai. Gak semuanya aremania cinta damai tapi masih juga aremania resek.

Tapi di sini perbedaannya, bonek yang kala tur berbuat anarkis, menjarah. Langsung dinilai bonek itu anarkis, ingat gak semuanya bonek itu anarkis. Masih inget bulan ramadhan kemarin? Kelompok-kelompok suporter bonek yang ada di surabaya, sidoarjo, gresik, pasuruan, maupun jember dan daerah-daerah lain yang belum saya sebutkan membagikan ta'jil ke pengendara umum. Tapi di sini yang saya banggakan, ketika bonek dicaci maki saat melakukan tindakan anarkis. Mereka menerimanya dengan lapang dada, bukan malah munafik menduduh oknum-oknum yang gak bertanggung jawab melakukanya.Bukan malah mencari-cari alasan lain agar namanya tidak jelek di mata masyarakat yang mengurangi titel "suporter cinta damai"nya.




Kalau aremania? anda pasti bisa menilainya sendirilah. tidak perlu saya jelaskan di sini. Cukup menengok tragedi pembakaran stadion wilis madiun 2005, stadion brawijaya kediri, konvoian aremania juara ISL 2010, dan yang terakhir perjalanan pulang dari tur solo di stasiun kediri. Melempari warga-warga sekitar stasiun yang gak bersalah. Tapi maukah mereka mengakui perbuatan mereka??

Dan juga selama saya tinggal di malang, saya sedikit banyak menemukan 100% asli kera ngalam yang berdomisili mendukung persebaya. Ketika saya bertanya kepada mereka sejak kapan mendukung persebaya. Mereka menjadi Bonek udah dari kecil, udah diwarisi dari bapak-bapaknya. Dulu memang banyak bonek yang berasal dari malang, tapi sekarang udah gak sebanyak dulu lagi karena mereka udah mempunyai tim daerahnya sendiri arema.

Saya mencoba tanya lebih jauh mengapa mereka tetap setia mendukung persebaya, padahal jelas-jelas sekarang arema lagi ada di puncak. Mereka bilang tim ada di atas dan di bawah itu wajar, seperti roda berputar. Mereka sudah terlalu banyak mengerti kelebihan dan kekurangan bonek dan juga aremania, ternyata bonek dan aremania sama saja. Yang paling menonjol dan membedakan bonek dari aremania adalah persatuan suporter bonek, kesetia kawanan. Akan terasa jika pertandingan di luar kota. Bonek-bonek berbondong-bondong berangkat ke kota tujuan untuk mendukung persebaya dengan bekal seadanya, meskipun berbekal seadanya mereka tetap bersatu. Ada yang membawa duit lebih, mereka malah ikut nemenin temen mereka yang gak punya uang untuk nggandol truk maupun kereta. Seperti contoh misal bonek dari surabaya di tengah perjalanan bertemu dengan bonek dari pasuruan, mereka dengan cepat akrabnya langsung bersatu untuk mencapai kota tujuan. Yang penting sampai di kota tujuan dan mendukung tim kesayangan Persebaya. Jangan heran kalau di tengah perjalanan bertemu dengan rombongan bonek yang makan nasi bungkus dimakan rame-rame. Itu karena mereka merasakan suka duka ditanggung bersama.


Berbeda dengan aremania, saat tur ke luar kota. Mereka malah saling berlomba mempercantik korwil masing-masing, membanggakan korwil masing-masing. Ada yang naek bis, kereta, mobil pribadi dll. Kalaupun di jalan bertemu dengan aremania lain yang sedang tidak mempunyai duit, mereka acuh tak acuh. Gak peduli. Mereka berpendapat, salah sendiri tur modal nekat, gak modal duit. Saya sendiri juga mempunyai teman aremania, dia bercerita saat itu pulang dari tur lamongan persik vs arema. Dia dan teman-temannya pulang nyari bis umum gak nemu, bareng sama rombongan aremania yang naik bis dilarang naik.Bukan rahasia lagi, kalau di stadion kanjuruhan maupun di mana saja terjadi persaingan antar korwil aremania di malang.

Saling mengunggulkan yang terbaik. Saling tawuran sesama aremania. Maka dari fakta di ataslah, bonek-bonek asli malang bangga menjadi bonek. bangga mendukung persebaya. bonek ingat tujuan menjadi suporter, mendukung tim, bukan berlomba menjadi suporter terbaik.

Oh iya, sempat terpikir dalam pikiran saya. Seharusnya bonek itu dijadikan alat pemersatu suporter jatim. Mengapa tidak? Kita pasti tau jatim identik dengan boneknya. Ada Bonek dari surabaya, sidoarjo, pasuruan, lumajang, jember, banyuwangi, blitar, mojokerto, kediri, nganjuk, jombang, madiun, magetan, lamongan, gresik, bojonegoro, ponorogo, malang, madura dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan.Rata-rata daerah-daerah tersebut mempunyai tim daerah masing-masing. Kita ambil contoh laskar sakera pendukung persekabpas dan boromania pendukung persibo bojonegoro. Rata-rata mereka semua adalah embrio bonek, karena rata-rata dulu mereka adalah bonek maka terjalinlah persatuan suporter laskar sakera dan boromania. Bagaimana seandainya kalo sakera, jinggomania, mp mania, the madman/blue force, persikmania, psbi mania, deltamania, bledugmania, LA mania, ultrasmania, boromania, gengster, laros dll yang gak bisa saya sebutin. Berpijak kepada dulu mereka terlahir dari bonek. Ah semoga suatu saat bonek bukan hanya alat pemersatu suporter jatim, tapi suporter se indonesia.


TERUS BERBENAH DIRI DULUR-DULURKU BONEK YANG ADA DI ALAM SEMESTA INI, BUKTIKAN KITA BISA MENJADI LEBIH BAIK !!! TAK PERLU MENJADI TERBAIK KALO ITU HANYA MUNAFIK

Aku banga menjadi bonek . . .


penulis: badi' fals